√ Ki Hajar Dewantara || Tut Wuri Handayani

Dalam dunia pendidikan, sosok Ki Hajar Dewantara sebagai Bapak pendidikan bangsa Indonesia ini banyak mengajarkan banyak sekali hal yang sangat populer di bidang pendidikan. Konsep pendidikan nasional yang dikemukakan sangat membumi dan berakar pada budaya nusantara, antara lain tut wuri handayani, “tripusat” pendidikan (keluarga, sekolah, masyarakat) atau Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso (Tauchid, 2004). 

Sistem tut wuri handayani sudah dikenal cukup usang di lingkungan Taman siswa, merupakan suatu cara mendidik yang diterapkan dengan maksud mewajibkan kodrat alam bawah umur didiknya. Cara mendidik yang harus diterapkan ialah menyokong atau memberi tuntunan dan menyokong bawah umur tumbuh dan berkembang atas kodratnya sendiri. Sistem tut wuri handayani ini meletakkan pendidikan sebagai alat dan syarat untuk bawah umur hidup sendiri dan berkhasiat bagi masyarakat.

Pengajaran bagi Taman siswa berarti mendidik anak supaya menjadi insan yang merdeka batinnya, merdeka pikirannya, merdeka tenaganya. Guru jangan hanya memberi pengetahuan yang baik dan perlu saja, akan tetapi harus juga mendidik murid supaya sanggup mencari sendiri pengetahuan itu dan memakainya guna amal keperluan umum. Pengetahuan yang baik dan perlu itu yang bermanfaat untuk keperluan lahir batin dalam hidup bersama. Tiap-tiap guru, dalam teladan pikir Ki Hajar Dewantara ialah abdi sang anak, abdi murid, bukan penguasa atas jiwa bawah umur (Sudarto, 2008). Di lingkungan Tamansiswa sebutan guru tidak dipakai dan diganti dengan sebutan pamong. 

Hubungan antara pamong dan siswa, harus dilandasi cinta kasih, saling percaya, jauh dari sifat sewenang-wenang dan situasi yang memanjakan. Dalam konsep ini, siswa bukan hanya objek, tetapi juga dalam kurun waktu yang bersamaan sekaligus menjadi subjek. Ki Hajar Dewantara menjadikan tut wuri handayani sebagai semboyan metode among.




Sudarto (2008) mengutip pendapat Ki Soeratman yang menyatakan bahwa sikap tut wuri merupakan sikap pamong yang sifatnya memberi kebebasan kepada siswa untuk berbuat sesuatu sesuai dengan hasrat dan kehendaknya, sepanjang hal itu masih sesuai dengan norma-norma yang masuk akal dan tidak merugikan siapa pun. Tetapi kalau pelaksanaan kebebasan siswa itu ternyata menyimpang dari ketentuan yang seharusnya, menyerupai melanggar peraturan atau aturan masyarakat sampai merugikan pihak lain atau diri sendiri, pamong harus bersikap handayani, yakni mempengaruhi dengan daya kekuatannya, kalau perlu dengan paksaan dan kekerasan, apabila kebebasan yang diberikan itu dipergunakan untuk menyeleweng dan akan membahayakan diri. 

Jadi, tut wuri memberi kebebasan pada siswa untuk berbuat sehendak hatinya, namun kalau kebebasan itu akan menimbulkan kerugian pamong harus memberi peringatan. Handayani merupakan sikap yang harus ditaati oleh siswa sampai menimbulkan ketertundukan. Dengan demikian, sebagai subjek siswa mempunyai kebebasan, sebagai objek siswa mempunyai ketertundukan sebagai kewajibannya. 

Ki Hajar Dewantara memberi kias sistem tut wuri handayani dengan citra bahwa guru terhadap murid harus berpikir, berperasaan dan bersikap sebagai Juru Tani terhadap tumbuhan peliharaannya, bukannya tumbuhan ditaklukan oleh kemauan dan harapan Juru Tani. Juru Tani menyerahkan dan mengabdikan dirinya pada kepentingan kesuburan tanamannya itu. Kesuburan tumbuhan inilah yang menjadi kepentingan Juru Tani. Juru Tani tidak bisa mengubah sifat dan jenis tumbuhan menjadi tumbuhan jenis lain yang berbeda dasar sifatnya. Dia hanya bisa memperbaiki dan memperindah jenis dan perjuangan usaha yang mendorong perbaikan perkembangan jenis itu. Juru Tani tidak bisa memaksa tumbuhan padi mempercepat buahnya supaya lekas masak berdasarkan kemauannya lantaran kepentingan yang mendesak, tapi semua itu harus diikuti dengan kesabaran. 

Oleh lantaran itu, Juru Tani harus  tahu akan sifat dan tabiat serta jenis tanaman, perbedaan antara padi dan jagung, serta tanaman-tanaman lainnya dalam keperluan masing-masing supaya tumbuh berkembang dengan subur dan hasil yang baik. Juru Tani harus faham akan ilmu mengasuh tanaman, untuk sanggup bercocok tanam dengan baik, supaya sanggup menghasilkan tumbuhan yang subur dan buah yang baik. 

Menurut Ki Hajar Dewantara, Juru Tani dihentikan membeda-bedakan dari mana asalnya pupuk, asal alat kelengkapan atau asalnya ilmu pengetahuan dan sebagainya. Namun, harus dimanfaatkan segala yang menyuburkan tumbuhan berdasarkan kodrat alam. Pamong harus punya huruf menyerupai Juru Tani ini, tidak membeda-bedakan anak didik, tetapi berusaha membuat supaya bawah umur didiknya itu tumbuh menjadi bawah umur yang pintar, berjiwa merdeka, tidak bergantung dan berharap sumbangan orang lain. Metode atau sistem tut wuri handayani ini sepertinya menjadi ciri khas Taman siswa, kiranya masih relevan untuk masa kini ini. Sebab keseimbangan pelaksanaan hak kebebasan dan kewajiban dalam metode tersebut merupakan jaminan adanya ketertiban dan kedamaian, serta jauh dari ketegangan dan anarki. 




Dalam dunia pendidikan anak didik akan tumbuh dan berkembang, seluruh potensi kodratinya sesuai dengan perkembangan alaminya dan masuk akal tanpa mengalami kendala dan rintangan. Ajaran Ki Hajar Dewantara ini memberi kebebasan anak didik, yang diperlukan anak didik akan tumbuh kemampuannya berinisiatif serta kreatif untuk mewujudkan eksistensi manusia. Ajaran Ki Hajar Dewantara selain sistem atau metode among, yakni sistem paguron. Sistem paguron ini dinilai mempunyai kecocokan dengan kepribadian di Indonesia. 

Dalam perkembangannya kita melihat implementasinya melalui system pendidikan pesantren atau pendidikan asrama/Sistem Pendidikan Paguruan. Sistem paguruan atau pawiyatan yang digagas beliau, mewujudkan rumah guru atau pamong sebagai daerah yang dikunjungi anak didik. Anak didik itulah yang dititipkan orang tuanya supaya memperoleh pendidikan lanjutan yang terarah, terprogram, terkonsep, untuk jenjang kedewasaan yang lebih baik. Sistem paguron ini mempunyai perbedaan dengan sistem sekolah. Pada sistem paguruan, guru dan anak didik berada pada lokasi yang sama dalam kehidupan sehari-hari, baik dikala di sekolah maupun ketika melaksanakan interaksi setiap harinya, siang, pagi, malam dan berlangsung berbulan bulan. 

Sedangkan pada sistem sekolah, guru dan anak didik sama-sama tiba ke daerah pendidikan dalam waktu kurun tertentu, kemudian kembali ke daerah mereka masing-masing. Sehingga sistem sekolah sifatnya hanya sesaat. Efek paguruan lebih baik, lantaran antara guru dan anak didik terjadi transformasi kehidupan yang menyentuh, integral, dan sangat efektif. Di dalam paguron dibutuhkan para pendidik yang selain memahami ilmu pengetahuan juga mempunyai kepribadian, baik tingkah lakunya, tutur katanya, sehingga menjadi cermin dan panutan. Dengan demikian, anak didik akan mewarisi nilai-nilai kepribadian sang guru.

Belum ada Komentar untuk "√ Ki Hajar Dewantara || Tut Wuri Handayani"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel