√ Tugas Guru Dalam Pendidikan Karakter
Dewasa ini kiprah guru dihadapkan pada tuntutan yang semakin berat, terutama untuk mempersiapkan anak didik semoga bisa menghadapi dinamika perubahan yang berkembang dengan pesat. Perubahan yang terjadi tidak saja berkaitan dengan perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi saja, melainkan juga menyentuh perihal pergeseran aspek nilai dan susila dalam kehidupan bermasyarakat. Peranan guru menyerupai sekeping mata uang, di satu sisi sebagai pendidik dan sisi lain sebagai pengajar. Kedua kiprah itu sanggup dibedakan tetapi tidak pernah sanggup dipisahkan.
Peran guru tidak sekedar sebagai pengajar semata, yakni sebagai penyebar ilmu dan teknologi pada siswa di sekolah, namun kiprah guru dalam menamamkan sikap, nilai karakter, susila dan budaya bagi siswanya. Guru haruslah menjadi teladan, seorang model sekaligus mentor dari anak/siswa di dalam mewujudkan sikap yang berkarakter yang mencakup olah pikir, olah hati dan olah rasa. Masyarakat masih berharap para guru sanggup menampilkan sikap yang mencerminkan nilai-nilai susila mirip kejujuran, keadilan, dan mematuhi instruksi etik profesional.
Lickona (1991), sekolah dan guru harus mendidik karakter, khususnya melalui pengajaran yang sanggup membuatkan rasa hormat dan tanggung jawab. Penanaman dan pengembangan pendidikan huruf di sekolah menjadi tanggung jawab bersama. Pendidikan huruf sanggup dintegrasikan dalam pembelajaran pada setipa mata pelajaran. Setiap mata pelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Pembelajaran nilai nilai huruf ini tidak berhenti pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada tataran internalisasi, dan pengamalan konkret dalam kehidupan anak didik sehari-hari di masyarakat. Kegiatan pendidikan dan pembelajaran yaitu proses kegiatan interaksi guru/pendidik dengan anak didik/siswa.
Pendidik dan guru berperan sebagai model pengembang huruf dengan menciptakan evaluasi dan keputusan profesional yang didasarkan pada kebajikan sosial dan moral. Setiap anak didik mengharapkan guru mereka sanggup menjadi teladan atau model, teladan baginya. Hubungan antara guru atau pendidik dan siswa, harus dilandasi cinta kasih, saling percaya, jauh dari sifat adikara dan situasi yang memanjakan. Siswa bukan hanya objek, tetapi juga dalam kurun waktu yang bersamaan sekaligus menjadi subjek. Konsep Ki Hajar Dewantara mengenai tut wuri handayani sebagai semboyan metode among. “Sistem Among” yaitu cara pendidikan yang digunakan dalam Tamansiswa, mengemong (anak) berarti memberi kebebasan anak bergerak berdasarkan kemauannya, tetapi pamong/guru akan bertindak, kalau perlu dengan paksaan apabila impian anak membahayakan keselamatannya. Guru atau pamong wajib mengasuh anak didiknya, mengasah kodrati secara alamiah.
Guru wajib mendorong anak didiknya, yakni ing ngarsa sung tuladha, maksudnya bila seseorang atau guru berada di depan dibutuhkan bisa menjadi teladan atau teladan yang baik bagi anak buah atau pengikutnya, ing madya mangun karsa, maksudnya posisi seseorang atau guru di level menengah dibutuhkan bisa menuangkan gagasan dan ide-ide yang gres untuk mendukung aktivitas yang ditetapkan, tut wuri Handayani berarti pemimpin atau guru mengikuti dari belakang, memberi kemerdekaan bergerak yang dipimpinya, tetapi handayani, menghipnotis dengan daya kekuatan, kalau perlu dengan paksaan dan kekerasan apabila kebebasan yang diberikan itu dipergunakan untuk menyeleweng dan akan membahayakan diri.
Hakekatnya yaitu among dalam perumusan Tutwuri Handayani, isinya yaitu pinjaman kemerdekaan dan kebebasan kepada anak didik untuk membuatkan talenta dan kekuatan lahir batin, batas lingkungannya ialah kemerdekaan dan kebebasan yang tidak leluasa, terbatas oleh tuntunan kodrat alam yang nyata, dan tujuannya ialah kebudayaan, yang diartikan sebagai keluhuran dan kehalusan hidup manusia.
Mengajar tidak sekedar mentransfer ilmu pengetahuan, teknologi dan ketrampilan, melainkan mengajar juga mentransfer kehidupan. Implikasi yang paling bersahabat yaitu semua pengajar, tidak pandang mata pelajaran yang diampu, mempunyai tanggung jawab membangun susila dan huruf penerima didik. (Zamroni, 2009). Dalam melakukan kiprah tersebut berdasarkan penulis terdapat empat hal yang harus dimiliki oleh guru.
Pertama: Guru perlu mempunyai pengetahuan dan pandangan komprehensif futuristic tentang profil tenaga kerja yang dibutuhkan dunia usaha/industri. Pendidikan kejuruan tidak cukup hanya mengajarkan keterampilan teknik dan kejuruan tetapi harus dikembalikan kepada prinsip dasarnya sebagai upaya membuatkan insan secara utuh. Kecenderungan global mengatakan bahwa pendidikan yang hanya menekankan kepada latihan (training) untuk pekerjaan yang spesifik dianggap tidak sesuai lagi dengan kondisi kini (Bailey, 1990; Dyrenfurth, 1984: dan Raizen, 1989 dalam Pardjono, 2009). Sebagai balasan dari permasalahan ini, lulusan pendidikan kejuruan selain dibekali dengan kompetensi hard skills berdasarkan standar dunia kerja untuk memasuki dunia kerja dan bisa bekerja, juga harus dibekali dengan kemampuan lain untuk membuatkan kariernya di dunia kerja dan masyarakat, bisa bersaing dan menyesuaikan diri dengan perubahan, dan sebagai warga negara dan warga dunia. Kompetensi lulusan tidak cukup dengan kompetensi teknik atau bidang keahlian, tetapi juga kecakapan-kecakapan lain yang dibutuhkan untuk bisa menyesuaikan diri dan hidup di masyarakat yang memerlukan kemampuan berkompetisi dan sekaligus bekerjasama.
Kedua: Guru perlu mempunyai kemampuan dalam mendesain kurikulum dan perangkatnya selaras dengan kebutuhan pasar kerja menyangkut aspek ketrampilan maupun huruf kerja yang dibutuhkan. Setiap institusi pendidikan hendaklah merumuskan visi dan misi yang mengarah pada proses pendidikan untuk menghasilkan lulusan sesuai dengan kompetensi yang diharapkan. Berdasarkan visi, misi, dan tujuan, serta pertimbangan lain yang terkait dengan kebutuhan penerima didik maka Standar Kompetensi Lulusan (SKL) bisa dirumuskan. SKL harus terukur sehingga bisa dicapai melalai proses pendidikan dan latihan yang dilakukan. Integrasi huruf ke dalam visi, misi, tujuan, SKL, proses pembelajaran dan evaluasi dengan mengutip pendapat Pardjono (2009) sanggup dicontohkan sebagai berikut:
“Misalnya institusi telah merumuskan profil lulusan, yaitu:
(1) mempunyai integritas yang tinggi;
(2) berdisiplin tinggi, mandiri, berkemauan keras, jujur, dan bertanggungjawab;
(3) bersikap terbuka dan tanggap,
(4) menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai dengan kebutuhan kebutuhan industri, dan
(5) mempunyai keterampilan konseptual dan keterampilan dalam hubungan antar manusia.
Kelima profil ini bisa dianggap sebagai SKL, atau paling tidak bisa dikembangkan menjadi standar kompetensi lulusan. Bila dicermati lebih jauh dari profil lulusan tersebut ada 10 huruf lulusan yang harus dikembangkan, yaitu:
(1) integritas,
(2) disiplin,
(3) mandiri,
(4) berkemauan keras,
(5) jujur,
(6) bertanggungjawab,
(7) bersikap terbuka dan tanggap,
(8) menerapkan IPTEK,
(9) mempunyai keterampilan konseptual, dan
(10) mempunyai kemampuan berkomunikasi antar manusia.
Belum ada Komentar untuk "√ Tugas Guru Dalam Pendidikan Karakter"
Posting Komentar