√ Ki Hajar Dewantara

Sejak zaman usaha kemerdekaan dahulu, para pejuang serta perintis kemerdekaan telah menyadari bahwa pendidikan merupakan faktor yang sangat vital dalam usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa serta membebaskannya dari belenggu penjajahan. Oleh alasannya itu, mereka beropini bahwa disamping melalui organisasi politik, usaha ke arah kemerdekaan perlu dilakukan melalui jalur pendidikan.

Mengingat bahwa sistem pendidikan pemerintah kolonial pada masa itu tidak demokratis alasannya bersifat elit, diskriminatif dan diorientasikan pada kepentingan pemerintah penjajahan, maka sistem pendidikan rakyat yang sudah ada perlu dibina dan dikembangkan untuk menjangkau kepentingan rakyat secara lebih luas. 

Disamping menyebarkan lembaga-lembaga pendidikan rakyat tradisional yang pada umumnya berorientasi keagamaan, maka pada masa itu muncul seorang tokoh muda Raden Mas Soewardi Soeryaningrat atau yang dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara. Ia bersama rekan-rekannya mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai kepingan dari alat usaha meraih kemerdekaan. 

Setelah itu ia pun mendirikan sebuah akademi yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Taman siswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922. Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada akseptor didik supaya mereka menyayangi bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan. Tidak sedikit rintangan yang dihadapi dalam membina Taman Siswa. 


Pemerintah kolonial Belanda berupaya merintanginya dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober 1932. Tetapi dengan kegigihan memperjuangkan haknya, sehingga ordonansi itu kemudian dicabut. Di tengah keseriusannya mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan di Tamansiswa, ia juga tetap rajin menulis. Namun tema tulisannya beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan. Tulisannya berjumlah ratusan buah. Melalui tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.

BIOGRAFI KI HAJAR DEWANTARA 

Ki Hajar Dewantara Lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889.Terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Ia berasal dari lingkungan keluarga kraton Yogyakarta. Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, ketika genap berusia 40 tahun berdasarkan hitungan Tahun Caka, berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Semenjak ketika itu, ia tidak lagi memakai gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia sanggup bebas bersahabat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya. Perjalanan hidupnya benar-benar diwarnai usaha dan dedikasi demi kepentingan bangsanya.






Ki Hajar Dewantara menamatkan SD di ELS (Sekolah Dasar Belanda) Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak hingga selesai alasannya sakit. Kemudian ia bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya sangat komunikatif, tajam dan patriotik sehingga bisa membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya. Selain giat sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. 


TIGA SERANGKAI 

Pada tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Kemudian, bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, ia mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka. Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk memperoleh status tubuh aturan pada pemerintah kolonial Belanda. Tetapi pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg berusaha menghalangi kehadiran partai ini dengan menolak registrasi itu pada tanggal 11 Maret 1913. Karena organisasi ini dianggap sanggup membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan menggerakan kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda.



Ki Hajar Dewantara melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut. Sehubungan dengan rencana perayaan itu, ia pun mengkritik lewat goresan pena berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga). Tulisan Seandainya Aku Seorang Belanda yang dimuat dalam surat kabar de Expres milik dr. Douwes Dekker. Akibat karangannya yang menghina itu, pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg menjatuhkan sanksi tanpa proses pengadilan, berupa sanksi internering (hukum buang) yaitu sebuah sanksi dengan menunjuk sebuah tempat tinggal yang boleh bagi seseorang untuk bertempat tinggal.

Ki Hajar Dewantara pun dieksekusi buang ke Pulau Bangka. Namun mereka menghendaki dibuang ke Negeri Belanda alasannya di sana mereka bisa memperlajari banyak hal dari pada didaerah terpencil. Akhirnya mereka diijinkan ke Negeri Belanda semenjak Agustus 1913 sebagai kepingan dari pelaksanaan hukuman. Kesempatan itu dipergunakan untuk mendalami dilema pendidikan dan pengajaran, sehingga Raden Mas Soewardi Soeryaningrat berhasil memperoleh Europeesche Akte. Kemudian ia kembali ke tanah air di tahun 1918.

TAMAN SISWA 



Di tanah air, Ki Hajar Dewantara mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai kepingan dari alat usaha meraih kemerdekaan. Ia mendirikan sebuah akademi yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Taman siswa (Perguruan Nasional Taman siswa) pada 3 Juli 1922. Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada akseptor didik supaya mereka menyayangi bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.

Di tengah keseriusannya mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan di Taman siswa, ia juga tetap rajin menulis. Namun tema tulisannya beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan. Tulisannya berjumlah ratusan buah. Melalui tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.

MENJADI MENTERI PENDIDIKAN





Setelah zaman kemedekaan, Ki hajar Dewantara pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Nama Ki Hajar Dewantara bukan saja diabadikan sebagai seorang tokoh dan jagoan pendidikan (bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei dijadikan hari Pendidikan Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959. 

WAFATNYA KI HAJAR DEWANTARA





Pada tahun 1957 Ki Hajar Dewantara mendapat gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada. Dua tahun sesudah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu, Ki Hajar Dewantara meninggal dunia pada tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di sana. Kemudian oleh pihak penerus akademi Taman Siswa, didirikan Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta, untuk melestarikan nilai-nilai semangat usaha Ki Hadjar Dewantara. Dalam museum ini terdapat benda-benda atau karya-karya Ki Hajar Dewantara sebagai pendiri Taman siswa dan perannya dalam kehidupan berbangsa. Koleksi museum yang berupa karya tulis atau konsep dan risalah-risalah penting serta data surat-menyurat semasa hidup Ki Hajar Dewantara sebagai jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai seorang seniman telah direkam dalam mikrofilm dan dilaminasi atas pertolongan Badan Arsip Nasional. 

FILSAFAT KI HAJAR DEWANTARA

Ki Hajar Dewantara termasuk aliran filsafat pendidikan yang menganut definisi pendidikan, apabila dilihat dari sudut aliran filsafat pendidikan evolusionistis yang lebih menekankan tangga-tangga psikologis perkembangan manusia. Suatu konsep pendidikan yang lebih mengarahkan orientasinya pada aspek-aspek kehidupan modern yang kompleks dan rumit kaitannya, yang lebih individualisis sehinga menuntut kemampuan individual masing-masing langsung dalam mengadakan pembiasaan kehidupan psikologsnya.

Konsep wacana anthropologi filsafat jikalau tidak dirumuskan dalam definisi pendidikan sanggup dicari pada rumusan wacana tujuan pendidikannya. Sebagai pola dalam sejarah pemikiran filsafat pendidikan Indonesia, kita dikenalkan dengan salah satu rumusan tujuan pendidikan sebagai berikut: “Membentuk insan susila yang cakap dan warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab atas kesejahteraan Negara dan tanah air.” Dalam rumusan ini hakekat insan sebagai suatu aspek yang bernilai martabat yang sama, sehinga yang satu dilarang mencaplok atau menghisap yang lain, artinya insan dihisap warga negara sehingga mengarah ke terhisapnya kepentingan individu demi kepentingan dan kejayaan Negara, dan sebaliknya hilangnya aspek warganegara dan mengarah ke individualisme yang otomistis.

Suatu ilustrasi tujuan pendidikan yang mengarah ke penghisapan individualitas insan ke dalam konsep warganegara yakni definisi pendidikan di bawah ini: “Pendidikan yakni acara atau proses dengan mana individual dibina supaya loyal setia tanpa sarat dan pembiasaan membuka pada kelompok atau forum soial.” Definisi pendidikan ini disamping berlaku pada Negara totaliter yang dengan monisme kebudayaan, juga berlaku pada masyarakat yang ketat berpegang teguh mempertahankan tradisi kebudayaannya, yaitu pada masyarakat yang tradisioal konservatif.

Dalam batas-batas tertentu, para sosiolog lebih bersahabat pemikiran pendidikan dengan definisi konsep pendidikan di atas. Sedang para psikolog lebih bersahabat dekat dengan defenisi pendidikan di bawah ini: “Pendidikan yakni suatu proses pertumbuhan di dalam mana individu dibantu menyebarkan daya-daya kemampuannya, bakatnya, kecakapannya dan minatnya. ”Perbedaan antara kedua definisi pendidikan di atas, antara pendekatan sosiologis dan pendwekatan psikologis yakni bahwa pendekatan social meninjau proses pendidikan dalam kaitannya dengan kehidupan dengan forum social di luar individu, sedang pendekatan psikologis meninjau proses pendidikan dari sudut proses internal dalam diri manusia, sehinga lebih mengarah ke peninjauan wacana konsep hakekat psikologis, bukan filosofis, daripada anak didik.

KARYA-KARYA


Karya Warisan Pertama Ki Hajar Dewantara yakni Taman Siswa yang menjadi representasi institusi pendidikan pribumi pada masa kolonial dan tetap eksis hingga hari ini. Kedua yakni tulisan-tulisan Ki Hajar Dewantara dalam bidang pendidikan dan kebudayaan. Tulisan-tulisan itu dikumpulkan dan diterbitkan oleh Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa dalam buku Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian I Pendidikan (1962) dan Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian II: Kebudayaan (1967).

Kepiawaian Ki Hajar Dewantara dalam menulis alasannya ia semenjak muda menjadi penulis dan wartawan. Ketiga, Buku Bagian I Pendidikan terbagi dalam 8 bab: pendidikan nasional, politik pendidikan, pendidikan kanak-kanak, pendidikan kesenian, pendidikan keluarga, ilmu jiwa, ilmu adab, dan bahasa. Tulisan tertua dalam buku ini yakni ’’Pendidikan dan Pengajaran Nasional’’ yang disampaikan sebagai prasaran dalam Kongres Permufakatan Pergerakan Kebangsaan Indonesia (PPPKI) pada 31 Agustus 1928.

Tulisan-tulisan Ki Hadjar Dewantara menyampaikan bahwa kemerdekaan dalam dunia pendidikan mempunyai tiga sifat: berdiri sendiri, tidak tergantung pada orang lain, sanggup mengatur diri sendiri. Buku Bagian II Kebudayaan terbagai dalam 5 bab: kebudayaan umum, kebudayaan dan pendidikan/kesenian, kebudayaan dan kewanitaan, kebudayaan dan masyarakat, kekerabatan dan penghargaan kita. Dua buku itu yakni representasi pemikiran dan pembuktian dalam praktik pendidikan dan pengajaran dari Ki Hadjar Dewantara. Pendidikan dan kebudayaan yakni basis kehidupan yang memilih kualitas insan dan bangsa.

Belum ada Komentar untuk "√ Ki Hajar Dewantara"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel