√ Kerangka Dasar Implementasi Pendidikan Nasional


Seluruh dasar pelaksanaan pembangunan pendidikan yang telah ditetapkan tidak terlepas dari kerangka reformasi pendidikan nasional dan kebijakan terobosan bidang pendidikan yang diawali pada tahun 2005.

Kebijakan terobosan tersebut antara lain berkaitan dengan pelaksanaan otonomi satuan pendidikan, kurikulum berbasis kompetensi (KBK), pembelajaran berpusat pada penerima didik, pembelajaran kontekstual, kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), dan peningkatan partisipasi masyarakat di bidang pendidikan. Uraian singkat mengenai kerangka dasar pelaksanaan tersebut yaitu sebagai berikut:

Otonomi Satuan Pendidikan 

Kebijakan dasar komponen pendidikan menjadi wewenang pemerintah sentra yang pengelolaannya merupakan tanggung jawab Menteri Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas Pasal 50 ayat 1). Kebijakan pendidikan yang bersifat operasional menjadi wewenang pemerintah kawasan (provinsi dan kabupaten/kota), sedangkan kegiatan operasional dari komponen tersebut menjadi kiprah dan kewajiban satuan pendidikan. 

Dalam kebijakan operasional ada perbedaan antara satuan pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi dengan pendidikan dasar dan menengah.

Pada jenjang pendidikan tinggi kebijakan operasional diberikan kepada perguruan tinggi masing-masing, yaitu pimpinan dan senat universitas, institut sekolah tinggi dan akademik, sedangkan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah kebijakan operasionalnya dipegang oleh Gubernur, Walikota/Bupati cq.

Kepala Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota. Penjelasan penyelenggaraan masing-masing otonomi satuan pendidikan yaitu sebagai berikut:

Otonomi pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah

Salah satu wujud dari otonomi pendidikan pada satuan pendidikan dasar dan menengah yaitu diterapkannya konsep dan kebijakan manajemen berbasis sekolah atau madrasah (school-based management). Dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pasal 51 ayat 1 dinyatakan bahwa “pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan menurut standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah”.

Penerapan manajemen berbasis sekolah atau madrasah merupakan kebijakan gres dengan maksud memperlihatkan otonomi yang lebih besar kepada sekolah dan madrasah untuk menggali potensi dan kekuatan yang ada, kemudian mengembangkan dan memanfaatkannya untuk meningkatkan mutu pendidikan ke dalam konsep MBS. Terpaut pula konsep manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah (MPMBS).

Mutu pendidikan meliputi mutu hasil, mutu proses, dan mutu faktor-faktor pendukung proses pendidikan. Hasil pendidikan yang bermutu ditentukan oleh proses pendidikan yang bermutu. Proses pendidikan yang bermutu dipengaruhi oleh faktor-faktor pendukung proses pendidikan yang bermutu yang disebut sumber daya pendidikan.

Sumber daya pendidikan meliputi pendidik dan tenaga kependidikan (guru, kepala sekolah, dan staf administrasi), sarana dan prasarana pendidikan (termasuk media dan sumber belajar), biaya, dan MBS atau MPMBS.

Hal ini sejalan dengan konsep manajemen mutu total yang menekankan pada keterpaduan antar komponen-komponen pendidikan tersebut yang terarah pada pencapaian tujuan pendidikan. Bila dihubungkan dengan kebijakan standarisasi pendidikan wacana standar nasional pendidikan, nampaknya hal ini juga mempunyai kaitan yang erat. 

Manajemen sekolah merupakan kiprah dan kiprah pokok dari kepala sekolah sebagai pemimpin dan manajer di sekolahnya. Sebagai pemimpin, kepala sekolah berfungsi untuk merumuskan visi, misi dan fungsi sekolah serta membuat iklim kehidupan sekolah yang aman bagi kemajuan dan keberhasilan sekolah.

Kepala sekolah berperan sebagai edukator (pendidik) manajer (pengelola), direktur (ketatausahaan), supervisor (pengawas), leader (pemimpin-pengayom), innovator (pembaharu) dan motivator (pendorong). Sebagai manajer kepala sekolah merencanakan, mengorganisasikan, mengimplementasikan dan mengendalikan pelaksanaan pelbagai kegiatan sekolah.

Komite sekolah atau madrasah merupakan partner dari kepala sekolah atau madrasah sebagai wujud dari kepedulian dan partisipasi masyarakat untuk membantu kepala sekolah/madrasah baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan maupun program-program pendidikan. 

Otonomi pada Jenjang Pendidikan Tinggi 

Satuan Pendidikan jenjang pendidikan tinggi sanggup berbentuk universitas, institut, politeknik, sekolah tinggi dan perguruan dengan aneka macam bentuk program, yaitu kegiatan pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor.

Satuan Pendidikan jenjang pendidikan tinggi mempunyai otonomi yang lebih besar dibandingkan dengan pendidikan dasar dan menengah. Hal itu terkait dengan kesiapan para pengelola dan pelaksana pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi, baik kesiapan dalam penguasaan ilmu dan teknologi maupun kesiapan melakukan fungsi kepemimpinan dan manajerial.

Hal itu diperkuat oleh kenyataan bahwa para pengelola dan pelaksana satuan pendidikan tinggi pada umumnya yaitu para hebat dalam aneka macam bidang keilmuan dan sebagian besar dari mereka mempunyai latar belakang pendidikan jenjang S2 dan S3, dan sebagian dari mereka mempunyai jabatan fungsional sebagai guru besar. 

Dalam UU No. 20 Tahun 2003 wacana Sisdiknas pasal 50 ayat 6 dinyatakan bahwa “Perguruan tinggi memilih kebijakan dan mempunyai otonomi dalam mengelola pendidikan di lembaganya”.

Meskipun perguruan tinggi ada di provinsi bahkan kawasan kota/kabupaten, tetapi pembinaan dan pengawasannya eksklusif oleh pemerintah sentra cq. Menteri Pendidikan Nasional. Untuk perguruan tinggi swasta ada Kopertis sebagai perwakilan pemerintah sentra di daerah. 

Hubungan antar perguruan tinggi dan pemerintah kawasan hanya bersifat koordinasi dan kooperasi. Perguruan tinggi tidak berada di bawah pemerintah kawasan kecuali perguruan tinggi yang didirikan oleh pemerintah daerah.

Mengenai otonomi pada satuan pendidikan tinggi sanggup juga dilihat pada pasal 51 ayat 2 yang berbunyi “Pengelolaan satuan pendidikan tinggi dilaksanakan menurut prinsip otonomi, akuntabilitas, jaminan mutu, dan penilaian yang transparan”. 

Penyelenggaraan pendidikan tinggi dilaksanakan dalam program-program studi, dan tiap kegiatan studi mengembangkan kurikulum sesuai dengan kebijakan dari masing-masing perguruan tinggi.

Perguruan tinggi mempunyai otonomi yang besar dalam penyusunan landasan dan kerangka dasar kurikulum, struktur dan sebaran mata kuliah, merumuskan standar kompetensi dasar, penyusunan silabus, satuan kegiatan perkuliahan dan planning penilaian, termasuk dalam penetapan ketentuan dan pelaksanaan perkuliahan, ujian-ujian semester, ujian final kegiatan studi, skripsi, tesis dan disertasi, sistem penilaian dan penentuan kelulusan mahasiswa.

Perguruan tinggi juga mempunyai otonomi yang besar dalam memutuskan persyaratan kelulusan untuk mendapatkan gelar akademik, profesi atau vokasi. Sebagai forum pendidikan yang mempunyai otonomi luas, perguruan tinggi sanggup memperoleh sumber dana dari masyarakat yang pengelolaannya dilakukan menurut akuntabilitas publik. Sampai ketika ini perolehan sumber dana ini masih terbatas dari orang bau tanah mahasiswa. Belum banyak perguruan tinggi yang bisa menggali dana dari sumber-sumber lain.

Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)

Pengembangan KBK dilakukan untuk mewujudkan penerima didik yang bisa bersaing dan beradaptasi dengan perubahan dan perkembangan zaman. Atas dasar tuntutan untuk sanggup mewujudkan penerima didik ibarat itu diharapkan upaya peningkatan mutu pendidikan yang harus dilakukan secara menyeluruh dan meliputi pengembangan dimensi insan Indonesia seutuhnya, yakni aspek-aspek moral, akhlak, kebijaksanaan pekerti, perilaku, pengetahuan, kesehatan, keterampilan dan seni.

Pengembangan aspek-aspek tersebut bermuara pada peningkatan dan pengembangan kecapakan hidup yang diwujudkan melalui pencapaian kompetensi penerima didik untuk bertahan hidup, beradaptasi dan berhasil di masa mendatang. Dengan demikian penerima didik mempunyai ketangguhan, kemandirian dan jati diri yang dikembangkan melalui pembelajaran dan training yang dilakukan secara sedikit demi sedikit dan berkesinambungan. 

Penggunaan konsep competency-based (berbasis kompetensi) dalam kurikulum yaitu sebagai suatu pendekatan utama untuk mendeskripsikan kerangka pencapaian hasil dari kinerja sekolah yang optimal dalam pemberdayaan penerima didik.

Konsep competency-based yang dijadikan sebagai pendekatan utama sebagai kurikulum diharapkan menjadi stimulan bagi para pemangku kepentingan dalam pendidikan untuk meningkatkan mutu pendidikan, khususnya kepala sekolah dan guru melalui peningkatan pembelajaran yang berkualitas tinggi untuk memberdayakan potensi penerima didik.

Dalam konteks yang lebih luas, konsep competency-based bisa diaplikasikan dalam aneka macam bidang ibarat pekerjaan, pemerintahan dan training profesional. Kurikulum yang memakai pendekatan konsep competency-based kemudian disebut dengan “Kurikulum Berbasis Kompetensi atau competency-based curriculum”. 

Pelaksanaan pembelajaran yang mengacu pada kurikulum dengan pendekatan kompetensi harus memosisikan anak untuk bisa dan biasa mengembangkan dan memberdayakan potensi dirinya. Sering kali guru tidak memperhatikan bahwa setiap anak mempunyai perbedaan potensi individual dalam belajar.

Dengan kurangnya atau tidak adanya perhatian terhadap hal itu, pembelajaran diseleng- garakan dengan cara menyamaratakan semua potensi individual anak yang berbeda-beda. Padahal apabila kita kaji akan tampak bahwa potensi anak dalam suatu kelas terang berbeda-beda. Oleh sebab itu dalam pembelajaran dipandang sangat perlu untuk memperhatikan perbedaan potensi individual anak. 

Pembelajaran yang Berpusat Pada Peserta Didik

Perkembangan teori berguru menurut riset selama hampir 100 tahun secara sedikit demi sedikit mengubah paradigma wacana bagaimana seharusnya guru mengajar dan siswa belajar. Temuan teori yang remaja ini amat terkenal dan berdampak luas pada skala internasional yaitu teori berguru konstruktivisme.

Konstruktivisme memantapkan teori–teori berguru sebelumnya dan memperlihatkan pencerahan bagi peralihan dari konsep berguru yang berpusat kepada guru (teacher-centered learning) ke arah konsep berguru yang berpusat kepada siswa (student-centered learning). Orientasi yang berpusat kepada siswa pada hasilnya diwujudkan dalam pendekatan berguru aktif (active learning approach). 

Gagasan pokok paradigma berguru aktif berlandaskan pada teori konstruktivisme. Inti teori konstruktivisme yaitu mengkonstruksi makna. Pentingnya latar belakang dan budaya siswa diintegrasikan ke dalam pelaksanaan kurikulum; tanggung jawab berguru terutama diemban siswa.

Guru harus beralih dari kiprah sebagai pelatih (pengajar) kepada kiprah sebagai fasilitator yang memotivasi siswa untuk belajar. Hakikat proses berguru yaitu kegiatan berguru aktif yang ditangani sebagai suatu proses sosial dan kegiatan berguru yang terfokus kepada memberi kesempatan kepada siswa.

Semakin rendah jenjang pendidikan, semakin banyak muatan berguru aktif dan konkret, namun semakin berkurang muatan berguru reflektif dan abstrak. Dengan kata lain, semakin tinggi jenjang pendidikan semakin berkurang muatan berguru aktif dan konkret, namun semakin banyak muatan berguru reflektif dan abstrak.

Pola mengajar duduk, dengar, catat dan hafal tak sanggup dipertahankan, harus diganti dengan kegiatan berguru yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan. Proses berguru mengajar yaitu wujud interaksi dinamis antara kiprah guru dan siswa dan kerjasama antar siswa.

Proses berguru mengajar hendaknya diintegrasikan ke dalam konteks lingkungan siswa, sosial dan budaya siswa serta dunia kerja. Penilaian dilihat sebagai proses dua arah yang melibatkan interaksi antara guru dan siswa. Peran penilai yaitu berdialog dengan orang yang dinilai untuk memilih tingkat unjuk kerja (performance) terhadap tugas.

Penilaian dan kegiatan berguru dinilai saling terkait dan bukan merupakan proses yang terpisah. Pengetahuan harus ditemukan sebagai suatu keseluruhan yang terintegrasi, pengalaman berguru harus terbuka dan cukup bebas guna memungkinkan siswa menemukan, menikmati, berinteraksi dan mencapai versi kebenaran sendiri yang diverifikasi secara sosial.

Pembelajaran Kontekstual

Pengertian Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL) adalah:

a) Merupakan suatu proses pendidikan yang holistik dan bertujuan memotivasi siswa untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan mengaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial, dan kultural) sehingga siswa mempunyai pengetahuan/ keterampilan yang secara fleksibel sanggup diterapkan (ditransfer) dari satu permasalahan/konteks ke permasalahan/konteks lainnya

b) Merupakan konsep berguru yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata dan mendorong pembelajar membuat hubungan antara materi yang diajarkannya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. 

Hakekat pembelajaran kontekstual yaitu konsep berguru yang menerapkan dan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni: 
  1. konstruktivisme (constructivism), yaitu membangun pemahaman mereka sendiri dari pengalaman gres berdasar pada pengetahuan awal dan pembelajaran harus dikemas menjadi proses “mengkonstruksi” bukan mendapatkan pengetahuan; 
  2. bertanya (questioning), yaitu kegiatan guru untuk mendorong, membimbing dan menilai kemampuan berpikir siswa dan bagi siswa yang merupakan penggalan penting dalam pembelajaran yang berbasis inquiry; 
  3. menemukan, yaitu proses perpindahan dari pengamatan menjadi pemahaman dan siswa berguru memakai keterampilan berpikir kritis; 
  4. masyarakat berguru (learning community), yaitu sekelompok orang yang terikat dalam kegiatan belajar, bekerjasama dengan orang lain lebih baik daripada berguru sendiri, tukar pengalaman dan menyebarkan ide; 
  5. pemodelan (modeling), yaitu proses penampilan suatu teladan semoga orang lain berpikir, bekerja dan berguru dan mengerjakan apa yang guru inginkan semoga siswa mengerjakannya;
  6. refleksi (reflection), yaitu cara berpikir wacana apa yang telah kita pelajari, mencatat apa yang telah kita pelajari, membuat jurnal, karya seni serta diskusi kelompok; 
  7. penilaian otentik (authentic assessment), yaitu mengukur pengetahuan dan keterampilan siswa, penilaian produk (kinerja) dan tugas-tugas yang relevan dan kontekstual.

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)

Kebijakan Departemen Pendidikan Nasional wacana pemberlakukan KTSP merupakan tuntutan pelaksanaan pembaharuan pendidikan yang diamanatkan oleh UU No. 20 Tahun 2003 wacana Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 wacana Standar Nasional Pendidikan. 

Berdasarkan kajian konseptual, pemberlakuan KTSP didasarkan pada pilihan aneka macam model yang ditinjau dari model kurikulum, merupakan penerapan model kurikulum berbasis kompetensi yang didasarkan pada teori teknologi pendidikan.

Jika ditinjau dari model pengelolaan, pengembangan kurikulum merupakan penerapan model pengelolaan pengembangan kurikulum oleh satuan pendidikan. Jika ditinjau dari model implementasi kurikulum, hal ini merupakan penerapan adonan model implementasi kurikulum mutual adaptive dan enrichment.

Berdasarkan kajian kondisi empiris, pemberlakuan KTSP merupakan tanggapan terhadap permasalahan pendidikan di lapangan berupa keberagaman budaya dan suku bangsa, potensi dan karakteristik penerima didik, ragam kualitas pendidikan di tiap daerah, globalisasi, kompetensi sumber daya manusia, manajemen berbasis sekolah, relevansi pendidikan, dan penemuan pendidikan.

Dengan memperhatikan kondisi tersebut di atas, maka untuk lima tahun ke depan perlu dilakukan:


  • Sosialisasi wacana KTSP kepada para pengambil kebijakan baik di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota maupun satuan pendidikan
  • Sosialisasi dan/atau training wacana KTSP kepada para pelaksana pendidikan di lapangan, baik di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota maupun satuan pendidikan
  • Bila semua unsur telah mendapatkan sosialisasi dan/atau pelatihan, maka tahap berikutnya yaitu pembinaan. Penanggung jawab pembinaan yaitu unit Direktorat Jenderal terkait di lingkungan Depdiknas.

Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah bertanggung jawab dalam pembinaan manajemen, sedangkan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan bertanggung jawab dalam pembinaan pendidik dan tenaga kependidikan lainnya.

Partisipasi Masyarakat di Bidang Pendidikan

Makna partisipasi masyarakat sering kali diartikan sebagai keterlibatan atau kiprah serta masyarakat. Partisipasi dalam pengertian ini yaitu mengambil penggalan atau kiprah dalam pendidikan, baik dalam bentuk pernyataan mengikuti kegiatan, memperlihatkan masukan berupa pemikiran, tenaga, waktu, keahlian, modal, dana atau materi, maupun ikut memanfaatkan dan menikmati hasilnya. 

Partisipasi yaitu proses aktif dan inisiatif yang muncul dari masyarakat serta akan terwujud sebagai suatu kegiatan nyata apabila terpenuhi oleh tiga faktor pendukungnya, yaitu: adanya kemauan, kemampuan serta adanya kesempatan untuk berpartisipasi.

Kemauan dan kemampuan partisipasi lebih berasal dari masyarakat yang dalam hal ini dimaksudkan sebagai tubuh dunia dan forum swadaya masyarakat, sedangkan kesempatan berpartisipasi tiba dari pihak luar yang memberi kesempatan (pihak pemerintah).

Apabila ada kemauan tetapi tidak ada kemampuan dari pihak luar yang dalam hal ini masyarakat walaupun telah diberi kesempatan oleh negara atau penyelenggara pemerintahan, maka partisipasi tidak akan terjadi.

Demikian juga jikalau ada kemauan dan kemampuan tetapi tidak ada ruang atau kesempatan yang diberikan oleh negara atau penyelenggara pemerintahan maka mustahil juga partisipasi masyarakat itu terjadi.

Demikian halnya dengan partisipasi masyarakat dalam pengembangan pendidikan di Indonesia pemerintah perlu memperlihatkan ruang atau kesempatan kepada masyarakat untuk sanggup berpartisipasi. Namun demikian kesempatan untuk berpartisipasi itupun perlu pembatasan dalam hal lingkup apa, seluas mana, melalui cara bagaimana, seintensif mana dan dengan prosedur bagaimana.

Bagi Indonesia yang penduduknya terdiri atas pelbagai suku bangsa kiprah negara dalam pendidikan nasional terang menjadi penentu utama pembentuk identitas bangsa. Walaupun dalam prakteknya bisa saja kiprah negara tidak dilakukan pada setiap jenjang pendidikan.

Peran negara harus berpengaruh dalam konteks pembangunan pendidikan dasar dan menengah secara nasional, sebab yang menjadi landasan filosofi pendidikan ini yaitu bagaimana nilai-nilai yang berafiliasi dengan wawasan kebangsaan ditanamkan semenjak awal untuk membentuk identitas keindonesiaan. Sedangkan bagi pendidikan tinggi kiprah masyarakat dalam hal ini tubuh dunia atau forum swadaya masyarakat sanggup menopang filosofi pendidikan tinggi untuk kepentingan innovasi dan kreativitas dengan pendekatan pemikiran kritis.

Kaprikornus pendidikan nasional sebagai upaya membentuk semangat nasionalisme, sepertinya porsi besar tanggung jawab sepenuhnya oleh negara. Lain halnya yang tidak menyangkut misi bukan pengembangan semangat nasionalisme atau pembentukan identitas bangsa sanggup diberikan kesempatan berpartisipasi kepada masyarakat baik yang tiba dari tubuh dunia maupun forum swadaya masyarakat.

Dalam konsteks itu partisipasi bernuansa masyarakat lebih diarahkan pada bagaimana mewujudkan keindonesiaan bagi seluruh penerima didik dengan tidak mengabaikan proses terbentuknya keseimbangan nilai-nilai kebangsaan dan nilai ilmu pengetahuan. 

Belum ada Komentar untuk "√ Kerangka Dasar Implementasi Pendidikan Nasional"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel