√ Peradilan Koneksitas Dalam Masalah Tindak Pidana Korupsi
Dalam menuju kurun reformasi demokratisasi dan transparansi khususnya dibidang aturan salah satu yang harus dilaksanakan yaitu supremasi aturan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Menegakkan supremasi aturan berarti menempatkan aturan sebagai otoritas tertinggi.
Dalam masyarakat pada umumnya, konotasi supremasi aturan seringkali dipahami (popular) dengan sebutan menjadikan aturan sebagai panglima. Artinya segala permasalahan aturan wajib diselesaikan melalui mekanisme aturan yang berlaku. Tegasnya orientasi penegakan aturan hendaknya diarahkan untuk mencapai tujuan aturan dan tujuan sosial melalui intsitusi penegak aturan yang berwenang. Para pegawanegeri penegak aturan berkewajiban dan bertanggung jawab atas pelaksanaan penegakan aturan secara tegas, konsekuen, dan konsisten dalam segala bentuk perbuatan yang melawan hukum, baik yang dilakukan oleh kalangan sipil maupun kalangan militer yang memiliki lingkup peradilan sendiri-sendiri.
Tindak pidana yang dilakukan oleh masyarakat sipil harus diadili oleh pengadilan negeri, sebagai pengadilan dalam lingkup peradilan umum. Sedangkan tindak pidana yang dilakukan oleh militer maka pelaku tindak pidana tersebut harus diadili oleh Mahkamah Militer sebagai pengadilan dalan lingkup peradilan militer.
Kejahatan yang terjadi dalam masyarakat tidak menutup kemungkinan dilakukan oleh oknum militer atau anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) gotong royong dengan sipil yang secara yuridis formal harus diadili dalam satu lingkup peradilan umum (Pengadilan Negeri) atau dalam lingkup peradilan militer (Mahkamah Militer). Inilah yang disebut peradilan koneksitas.
Peradilan koneksitas merupakan suatu peradilan yang bertugas untuk mengadili apabila terjadi suatu tindak pidana yang dilakukan gotong royong oleh sipil dan militer (TNI) baik tindak pidana umum maupun tindak pidana khusus menyerupai tindak pidana korupsi.
Dalam tindak pidana korupsi sanggup dilakukan oleh oknum militer (TNI) gotong royong dengan sipil (bukan TNI) yang telah menyalahgunakan keuangan Negara menjadikan timbulnya kerugian Negara demi laba eksklusif atau kelompok atau tubuh hukum. Apabila terjadi tindak pidana korupsi yang demikian, maka kasus tindak pidana korupsi tersebut harus diadili dalam lingkungan peradilan koneksitas.
Mengenai peradilan koneksitas ini telah diatur dalam pasal 89 hingga pasal 94 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 89 KUHAP dinyatakan :
1) Tindak pidana yang dilakukan gotong royong oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkup peradilan umum kecuali kalau berdasarkan keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman kasus itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkup peradilan militer”.
2) Penyidikan kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksakan oleh suatu tim tetap yang terdiri dari penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 dan polisi militer Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan oditur militer, atau oditur militer tinggi sesuai dengan wewenang mereka masing-masing berdasarkan aturan yang berlaku untuk penyidikan kasus pidana.
3) Tim sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) dibuat dengan surat keputusan bersama Menteri Pertahanan dan Keamanan dan Menteri Kehakiman.
Meskipun telah ada pengaturannya, antara das sollen dan das sein belum terdapat kesesuaian, maksudnya antara apa yang seharusnya (das sollen) secara normatif tidak sesuai dengan kenyataan atau fakta yang terjadi (das sein), alasannya yaitu berdasarkan pasal 89 KUHAP bahwa apabila terjadi tindak pidana yang sama-sama dilakukan oleh oknum militer dan sipil maka mereka diadili dalam lingkup peradilan umum, kecuali ada persetujuan Menteri Pertahanan dan Keamanan dan Menteri Kehakiman harus diadili dalam lingkungan peradilan militer.
Dalam kenyataannya tindak pidana yang terjadi dimasyarakat yang dilakukan oleh oknum Tentara Nasional Indonesia gotong royong dengan sipil, pidah instansi Militer tersebut berusaha biar anggota Tentara Nasional Indonesia tersebut diadili dalam Mahkamah Militer. Ditinjau dari pasal 89 ayat (2) KUHAP bahwa penyidik tindak pidana yang dilakukan oleh oknum militer dan sipil yaitu penyidik POLRI dan Polisi Militer dan oditur militer atau oditur militer tinggi. Dalam tindak pidana korupsi yang ditangani oleh Kejaksaan, maka penyidiknya yaitu Jaksa dan bukan penyidik POLRI lagi. Dalam hal ini telah terjadi perubahan penyidik yang tidak sesuai lagi dengan yang diatur dalam pasal 89 ayat (2) KUHAP.
Dalam pelaksanaan peradilan koneksitas dalam kasus tindak pidana korupsi sering ditemui hambatan yaitu ketidakmudahan dalam memilih peradilan mana yang berwenang mengadili kasus koneksitas. Dalam memilih peradilan mana yang berwenang dalam kasus tindak pidana korupsi, maka penyidik POLRI atau penyidik Kejaksaan besama-sama penyidik militer yang merupakan satu tim melaksanakan penelitian kasus dan menyepakati peradilan mana yang harus mengadili kasus tindak pidana korupsi tersebut.
Hal ini pernah terjadi pada kasus tindak pidana korupsi yang pelakunya oknum militer (TNI) dan oknum sipil yang telah terbukti menyalahgunakan keuangan tabungan wajib perumahan Tentara Nasional Indonesia yang perkaranya diperiksa dan diadili dalam lingkungan peradilan umum yaitu diperiksa dan diadili serta diputus oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sebagai koneksitas, yaitu Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor : 2478/Pid.B/Kon/2006/PN.Jaksel atas nama Terdakwa I Kolonel CZI. Ngadimin DS, SH yang dipidana 9 (sembilan) tahun penjara, Terdakwa II Samuel Kristanto yang dipidan 10 (sepuluh) tahun penjara, dan Terdakwa III Dedi Budiman Garna yang dipidana 13 (tiga belas) tahun penjara. Sususan hakim dalam kasus koneksitas tersebut yaitu H. Soedarmadji, SH.MHum dari peradilan umum sebagai Hakim ketua, Mayor CHK Budi Purnomo, SH dari militer sebagai Hakim anggota dan H. Waluyo, SH.MHum dari peradilan umum sebagai Hakim anggota.
Apabila disimak pasal 89 ayat 1 (satu) KUHAP yang memiliki prinsip dasar yaitu dalam kasus koneksitas diperiksa dan diadili oleh lingkungan peradilan umum, namun unsur tersebut ada pengecualiannya yaitu diadili dalam peradilan militer, dengan syarat antara lain : pertama, kalau ada keputusan Menhankam yang mengharuskan kasus koneksitas tersebut diperiksa dan diadili oleh lingkungan peradilan militer. Kedua, keputusan Menhankam yang dimaksud telah menerima surat persetujuan dari Menteri Kehakiman bahwa kasus koneksitas tersebut diperiksa dan diadili oleh peradilan militer.
Dalam kehidupan ketatanegaraan, nampak perubahan yang fundamental wacana penyelenggaraan kehakiman yaitu, dahulu penyelenggaraan kehakiman dilakukan oleh Menteri Kehakiman yang memegang pimpinan Departemen Kehakiman, dan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, penyelenggara kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung, dan tubuh peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata perjuangan negara, dan oleh Mahkamah Konstitusi.
Belum ada Komentar untuk "√ Peradilan Koneksitas Dalam Masalah Tindak Pidana Korupsi"
Posting Komentar