√ Pengaturan Wacana Peradilan Koneksitas Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia
 Dalam Undang-Undang No.14 tahun 1970 wacana Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal 22  mengatur  perihal koneksitas sebagai berikut: 
 Tindak pidana yang dilakukan bahu-membahu oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali dalam keadaan tertentu berdasarkan keputusan Menteri Pertahanan/Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman kasus itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
 Penjelasan dari pasal 22 di atas bahwa kewenangan pengadilan umum  untuk mengadili perkara-perkara pidana yang dilakukan oleh anggota militer dan  non militer pada hakekatnya merupakan  suatu  pengecualian  atau  penyimpangan  dari ketentuan yang menyatakan bahwa seseorang semestinya dihadapkan di depan pengadilannya masing-masing. Justru alasannya ialah hal itu merupakan suatu pengecualian, maka kewenangan Pengadilan Umum  ini  terbatas  pada  bentuk-bentuk pensertaan dalam suatu delik menyerupai yang dimaksudkan oleh pasal 55 dan pasal 56 KUHP.
  Sebagai  pelaksanaan  dari  ketentuan  pasal  22 tersebut dikeluarkan   Surat Keputusan  bersama  antar  Menteri  Kehakiman, Menteri Hankam/Pangab,  Ketua Mahkamah Agung dan Jaksa Agung RI No.Kep.B/01.XII/1971 wacana budi dalam investigasi tindak pidana yang dilakukan bahu-membahu oleh mereka yang termasuk dalam lingkungan  peradilan  umum  dan  orang  yang termasuk dalam lingkungan peradilan militer.
  Setelah mengalami perubahan pengaturan duduk kasus koneksitas di atur kembali dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan  Kehakiman pasal 16. Undang-undang ini menunjukkan kewenangan kepada Menteri Pertahanan/Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman untuk menetapkan Pengadiilan Militer sebagai pengadilan yang berwenang mengadili kasus koneksitas  tersebut. Dimana unsur militer melebihi unsur sipil misalnya,  sanggup dijadikan landasan untuk menetapkan pengadilan lain daripada Pengadilan Umum ialah pengadilan Militer untuk mengadili perkara-perkara koneksitas. Jika  dalam hal kasus diadili oleh Pengadilan Militer, maka susunan hakim ialah   dari pengadilan Militer dan Pengadilan Umum. Dalam hal ini kepentingan dari  justisiabel tetap menerima perhatian sepenuhnya, yaitu dalam susunan hakim yang bersidang. 
 
 Untuk menunjukkan dasar aturan yang mantap maka para Menteri dalam keputusan bersama dengan sedikit  perubahan dituangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Setelah berlakunya KUHAP, maka ternyata ketentuan dalam Surat Keputusan Bersama tersebut sebagian besar diambil alih dalam KUHAP.   Koneksitas  yang  diatur  dalam  pasal  89  KUHAP merupakan  pengulangan  atas  ketentuan dari pasal 16  Undang-Undang   Pokok Kekuasaan Kehakiman. Acara yang di pakai dalam proses investigasi  kasus koneksitas  untuk  selanjutnya  diatur  dalam  Pasal  90,  Pasal  91,  Pasal  92,  Pasal 93 dan Pasal 94 KUHAP. 
  Selain diatur di dalam KUHAP, duduk kasus koneksitas ini  pun diatur dalam Undang-Undang peradilan militer, koneksitas diatur di dalam Pasal 198 hingga dengan 203 Undang-Undang Peradilan militer.  Ketentuan  pasal  yang  digunakan dalam  pasal-pasal tersebut merupakan pengulangan  atas  ketentuan  pasal  yang digunakan oleh KUHAP dalam mengatur koneksitas, sehingga sanggup disimpulkan bahwa program yang digunakan dalam dalam investigasi kasus koneksitas  ini tidak berbeda antara KUHAP dengan Undang-Undang peradilan militer.
  Tersangka-tersangka yang melaksanakan tindak pidana  pidana bersama sama ialah  merupakan  tindak  pidana  yang  berada   dalam  ruang  lingkup   Pasal   55 kitab undang-undang hukum pidana atau   Pasal 56 KUHP. Pasal 55 kitab undang-undang hukum pidana menyatakan :
  (1)  Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:
 - Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melaksanakan perbuatan.
- Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, bahaya kekerasan, bahaya atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, saran atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain biar melaksanakan perbuatan.
 (2) Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya. Sedangkan pasal 56 kitab undang-undang hukum pidana menyatakan:
  Dipidana sebagai pembantu kejahatan:
 - Mereka yang sengaja memberi sumbangan pada waktu kejahatan dilakukan.
- Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melaksanakan kejahatan.
 Penyertaan diatur dalam pasal 55 dan pasal 56 kitab undang-undang hukum pidana yang berarti bahwa ada dua orang atau lebih yang melaksanakan suatu tindak pidana atau dengan  perkataan ada dua orang atau lebih mengambil kebahagiaan untuk mewujudkan suatu tindak pidana. Secara luas sanggup di sebutkan bahwa seseorang  turut  serta  ambil bab dalam hubungannya  dengan  orang  lain,  untuk  mewujudkan  suatu  tindak pidana, mungkin jauh sebelum terjadinya (misalnya: merencanakan),   bersahabat sebelum terjadinya (misalnya: menyuruh atau menggerakan untuk melakukan, menunjukkan keterangan  dan  sebagainya), pada ketika terjadinya  (misalnya:  turut  serta,  bersama- sama melaksanakan atau seseorang itu dibantu   oleh orang lain) atau sehabis terjadinya suatu tindak pidana (misalnya:   menyembunyikan  pelaku  atau  hasil tindak pidana pelaku). 
  Pada perkembangan  ketika  ini,  kasus koneksitas  menerima  perhatian   yang cukup serius berkenaan dengan dikeluarkannya Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 wacana Peran Tentara Nasional  Indonesia  dan  Peran  Kepolisian Negara Republik Indonesia. 
  Pasal 3 ayat (4) abjad a menyatakan:
 Prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran aturan militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran aturan pidana umum.
 Ketetapan MPR tersebut menerangkan bahwa secara tidak eksklusif  duduk kasus koneksitas  yang  berkenaan  dengan  tindak  pidana  sebagaimana  telah   diatur didalam aturan pidana umum  dihapuskan,  namun  kendalanya  terdapat   pada peraturan  perundang-undangan  yang  menjadi  aturan  pelaksanaan  yang  tertuang dalam bentuk perundang-undangan, ketetapan tersebut belum sanggup dilaksanakan.
  Pasal 89 ayat (2) dan (3) KUHAP dinyatakan : 
 (2) penyidikan kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan oleh suatu tim tetap yang terdiri dari penyidik sebagaimana dalam Pasal 6 dan Polisi Militer Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan Oditur Militer atau Oditur Militer tinggi sesuai dengan wewenang mereka masing-masing berdasarkan aturan yang berlaku untuk penyidikan perkara.(3) Tim sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) dibuat dengan surat keputusan bersama Menteri Pertahanan dan Keamanan dan Menteri Kehakiman.
 Berdasarkan ketentuan Pasal 89 (2) KUHAP bahwa pegawanegeri penyidik koneksitas ialah suatu “Tim Tetap” yang terdiri dari unsur : 
 - Unsur penyidik Polri;
- Polisi Militer;
- Oditur militer atau Oditur militer tinggi;
 Cara “Tim Tetap” tersebut diadaptasi dengan dengan penggarisan dan batas-batas wewenang yang ada pada masing-masing unsur tim, bertitik tolak dari segi wewenang masing-masing unsur tim. Berarti cara investigasi penyidikan dilakukan sesuai dengan  :
  a. Tersangka yang pelaku sipil diperiksa oleh unsur penyidik Polri.
  b. Sedangkan pelaku anggota Militer diperiksa oleh unsur penyidik polisi militer dan Oditur militer.
  Setelah penyidikan selesai dilaksankan, maka diadakan penelitian bersama dengan anggota peneliti terdiri dari Jaksa atau Jaksa Tinggi dan Oditur Militer dalam hal kepangkatan tersangka kapten kebawah atau Oditur Militer Tinggi dalam kepangkatan tersangka Mayor keatas. Penelitian tersebut dimaksudkan untuk menghindari terjadinya kekeliruan yang menimbulkan suatu tindak pidana yang nyata-nyata merugikan militer, terlanjur diperiksa dan diadili oleh lingkungan peradilan umum dan mekanisme ini  mengacu kepada ketentuan Pasal 90 ayat (1) KUHAP dan Pasal 199 ayat (1) Undang-Undang Peradilan Militer yang sama-sama menyatakan, bahwa “untuk menetapkan Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer yang akan mengadili kasus tindak pidana hasil penyidikan koneksitas tersebut, diadakan penelitian bersama oleh Jaksa/Jaksa Tinggi dan Oditur Militer/Oditur Militer Tinggi. Pada ayat-ayat selanjunya dari Pasal tersebut di atas, ditentukan bahwa “Pendapat dari penelitian bersama tersebut dituangkan dalam informasi program yang ditanda-tangani pihak-pihak dan apabila dalam penelitianbersama itu terdapat persesuaian pendapat wacana Pengadilan yang berwenang mengadili kasus tersebut, hal ini dilaporkan masing-masing kepada Jaksa Agung dan Oditur Jenderal”. 
  Sebaliknya bila penelitian terdapat perbedaan, maka berdasarkan ketentuan Pasal 93 ayat (1) KUHAP dan Pasal 202 ayat (1) Undang-Undang Peradilan Militer masing-masing pihak melaporkan perbedaan pendapat tersebut secara tertulis dengan diserai berkas kasus yang bersangkutan kepada Jaksa Agung dan Oditur Jenderal. Penyelesaiannya berdasarkan ayat-ayat selanjutnya dari Pasal tersebut di atas, dinyatakan bahwa Jaksa Agung dan Oditur Jenderal akan bermusyawarah untuk mengambil keputusan, tetapi apabila musyawarah tersebut tidak sanggup mengakhiri perbedaan pendapat, maka pendapat Jaksa Agung yang memilih Pengadilan mana yang berwenang mengusut dan mengadili kasus tersebut, apakah kasus tersebut diperiksa dan diadili dalam lingkungan peradilan umum atau diperiksa dan diadili dalam lingkungan peradilan militer
  Dalam kasus koneksitas, untuk memilih kasus ke pengadilan mana, apakah dilimpahkan ke pengadilan dalam lingkungan peradilan umum atau ke pengadilan dalam lingkungan peradilan militer, haruslah berpedoman pada aturan program yang berlaku yaitu Pasal 90, 91, 92, dan Pasal 93 KUHAP.
  Mengenai susunan majelis hakim kasus koneksitas dalam peradilan koneksitas diatur dalam pasal 94 KUHAP, dinyatakan :
  1. Apabila kasus koneksitas diperiksa dan diadili dalam lingkungan peradilan umum, susunan majelis hakim terdiri dari
 - 3 (tiga) orang hakim.
- Hakim ketua majelis diambil dari lingkungan peradilan umum / pengadilan negeri.
- 2 (dua) orang hakim diambil secara berimbang, yaitu 1 orang dari lingkungan peradilan umum dan 1 orang dari lingkungan peradilan militer.
 2. Apabila kasus koneksitas diperiksa dan diadili dalam lingkungan peradilan militer, susunan majelis hakim terdiri dari
 - 3 (tiga) orang hakim.
- Hakim ketua majelis diambil dari lingkungan peradilan militer.
- Hakim anggota diambil secara berimbang, yaitu 1 orang dari lingkungan peradilan militer dan 1 orang dari lingkungan peradilan umum.
- Hakim anggota dari lingkungan peradilan umum diberi pangkat militer tituler.
Belum ada Komentar untuk "√ Pengaturan Wacana Peradilan Koneksitas Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia"
Posting Komentar